Apakah Iman Reformed Layak dalam Globalisasi?
Penulis: Nam Jun Kim
Penerjemah: Paulus JinuKim
Iman Reformed dan Masyarakat Global
Dalam situasi Globalisasi, gereja Kristen menghadapi kesulitan dari dalam dan luar. Dari dalam mereka perlu mempertahankan konten kebenaran yang mereka percayai, dari luar mereka perlu mengabarkan kebenaran yang mereka percayai. Di sini kita dapat bertanya apakah iman Reformed layak untuk meresponi kebutuhan seiring dengan zaman ini?
A. Apakah Iman Reformed?
Iman Reformed berakar pada tradisi Reformisme. Dalam makna intrinsik istilah “Reformisme” diterapkan sebagai ajaran Kristen dari John Calvin, Ulrich Zwingli, Martin Bucer, dan John Knox, dan diaplikasikan juga kepada gereja-gereja Protestant yang menganut paham teologia ini.[1] Iman Reformed adalah iman komunitas Reformisme. Dari sisi sejarah, berlandaskan dengan esensi iman yang mengekspresikan tradisi Kekristenan yang universal, seperti Pengakuan Iman Rasuli, Kredo Nicea, Kredo Chalcedon dan sebagainya. Tetapi, tradisi dan komunitas Reformed juga merupakan bagian dari komunitas Protestan sebagai kategori yang lebih besar.
John Leith menyatakan 9 spirit dalam tradisi Reformisme.[2] Keagungan Allah dan pujian akan Dia, perlawanan akan penyembahan berhala, penggenapan tujuan Allah dalam sejarah, etika untuk hidup kudus, aktivitas intelek yang melayani Allah, khotbah, penggembalaan dan organisasi gereja, disiplin kehidupan, kesederhanaan. Ada pandangan yang mengatakan tradisi Protestan sendiri merupakan karya penebusan Allah yang menentukan dan determinatif untuk dijadikan di dalam Kristus, 9 pernyataan dasar ini berlandaskan kesamaan dalam posisi teologi Reformed tersebut. Iman Reformed adalah iman yang berpusat pada tradisi dan kredo Reformed tersebut.
B. Apakah Iman Reformed Layak dalam Globalisasi?
Arthur Holmes menyebut era yang kita hidupi sebagai era post-christian. Menurutnya, pendidikan modern sudah menjadi sekularisasi, cara berpikir saintifik membentuk pemikiran massa, dan teknologi mengantisipasi asumsi bahwa sesuatu yang dapat kita lakukan adalah sesuatu yang harus dilakukan, bahkan kesenian juga secara dasar menunjukkan kehilangan akan perpektif religius.
Dengan kata lain, ia menyatakan bahwa zaman modern merupakan zaman sekularisme baru, akal budinalisme baru, relativisme baru dan egoisme baru, bahkan ‘isme’ yang sudah ada mengenakan pakaian baru.[3] Dengan demikian Postmodernisme memberikan dampak besar kepada pemikiran pluralistik yang mempengaruhi gereja modern dengan meletakkan manusia sebagai pusat Kekristenan, bukan Allah.
Meskipun demikian, sosok gereja yang melawan situasi ini sangat buruk. Yang paling serius adalah sudut pandang ego orang modern meresap secara mendalam kepada gereja. Ego adalah hal yang diperhatikan orang modern dengan menganggap diri sendiri sebagai pusat semua penilaian.
Harapan mereka mewujudkan ego secukupnya, dan pemikiran terhadap penafsiran terhadap kesusahan dan perlawanan yang dialami dalam proses realisasi diri inilah yang sesungguhnya menolong mereka. Oleh sebab itu, menurut pendapat mereka, orang modern yang tidak mewujudkan ego dengan cukup adalah korban-korban dan orang-orang yang dilukai dalam masyarakat. Selama gereja mengikuti penafsiran manusia yang seperti ini, maka doktrin dosa tidak akan lagi memiliki tempat untuk dapat membuat injil mejadi ‘kabar baik’ sesungguhnya.
Dengan demikian saat ini, khotbah tentang pertobatan dan dosa di dalam gereja dihilangkan. Doktrin Kristen tradisional menyatakan bahwa semua ketidakbahagiaan manusia dan penderitaan dunia tergantung dari relasi dengan Allah yang telah mengalami kerusakan serius. Oleh sebab itu, orang modern tidak ingin menjadi objek yang egonya dihancurkan dan dikembalikan ke hadapan Allah, sebaliknya mereka ingin diterima sebagai objek yang butuh dihibur dan dilindungi oleh gereja sebagai orang yang terluka dalam proses realisasi diri, dan juga sebagai objek yang harus dibantu mewujudkan egonya sesuai dengan keinginannya. Sudut pandang terhadap manusia seperti ini di dalam gereja modern hanya untuk memenuhi kehadiran gereja yang tidak ada konversi, dan untuk menggunakan iman sebagai realisasi diri di dalam masyarakat yang kompetitif dengan membuang panggilan yang seharusnya mengejar kekudusan dan membuang dosa dari segala aspek kehidupan.
Meskipun ada pemikiran, apabila gereja sekali menerima kondisi ego-centered orang modern yang dipengaruhi oleh Postmodernisme, maka mereka dapat memeluk dan juga akan menjadi orang Kristen, namun realitasnya tidak seperti demikian. Setelah melewati zaman Modernisme dan Postmodernisme, iman gereja Reformed yang menyerukan doktrin orthodox menjadi tidak menarik lagi bagi kebanyakan orang modern.
Kemerosotan vitalitas gereja sudah lama terjadi, fenomena gereja kecil yang tidak memiliki anggota, formalisasi iman, moralisme yang tidak ada vitalitas, ibadah yang tidak sungguh-sungguh, kehilangan hasrat untuk penginjilan, dan penurunan drastis level etis di kehidupan orang Kristen tidak hanya terjadi belakangan ini. Di dalam kondisi tersebut, gereja nampak sangat tidak bertenaga. Gereja dipenuhi dengan perasaan penuh terhadap kekalahan karena kebenaran injil tidak lagi memiliki adaptabilitas kepada orang modern yang hidup di era globalisasi yang sangat rumit dan didiversifikasi.
Untuk menghadapi hal seperti ini, gereja merancang jalan keluar dengan menggunakan cara mereka sendiri, yaitu menerima perspektif Postmodernisme yang berpusat pada manusia dalam iman Kekristenan. Maka dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia bukanlah untuk bertobat dari dosa dan juga bukan untuk memiliki hidup khusus dalam relasinya bersama dengan Allah, melainkan eksistensiya harus terus menerus dibantu oleh Allah agar dapat merealisasikan dirinya. Hilangnya makna penderitaan dan pengorbanan Kristus di kayu salib merupakan akibat dari munculnya pandangan yang bervariasi dari gereja modern terhadap dosa.
Oleh sebab itu, dosa manusia digantikan dengan kemarahan terhadap kelemahan dan kemalasan manusia yang tidak merealisasikan diri mereka meski Kristus telah mengorbankan diri, dan konsumasi kerajaan Allah digantikan dengan visi realisasi diri. Kehidupan yang murni dan suci yang ditujukan kepada Allah ditukar dengan kehidupan yang damai dengan tetangga untuk merealisasikan diri dengan tujuan yang lain.
Sehingga manusia yang memiliki natur dosa yang seharusnya mengalami perubahan dengan kuasa Roh Kudus melalui Firman dan kebenaran di dalam siatuasi apapun tidak lagi ditonjolkan. Jika gereja menganggap ego dengan perspektif di atas, maka gereja harus mengemukakan gambaran Allah Bapa yang berbelas kasihan dan memeluk manusia yang tidak merealisasikan diri, yang harus ditolong dan didekati oleh Allah dibandingkan dengan mengutarakan manusia yang harus berubah di hadapan Allah yang kudus, pendosa yang berbalik kembali melalui kuasa Roh Kudus, dan eksistensi yang harus mengubahkan tujuan secara intrinsik melalui pekerjaan yang supernatural.
Bahkan seluruh tafsiran Alkitab dibuat dengan manusia sebagai pusatnya. Peristiwa salib Kristus dianggap terjadi bukan karena harga dosa untuk melawan tujuan penciptaan manusia, tetapi karena dasar dari anugerah yang diberikan oleh Allah untuk merealisasikan diri manusia secukupnya dengan bergantung kepada cara berpikir yang positif.
Maka dari itu injil tentang salib yang seharusnya dikumandangkan di gereja, tidak lagi menjadi tema khotbah yang menarik. Karena gereja yang mengikuti modernitas menyingkirkan masalah dosa itu sendiri yang putus asa dan sangat membutuhkan peristiwa salib. Bagi mereka, injil dapat menjadi injil bukan karena ajaran gereja yang mengajar untuk berbalik kepada Allah dan menyangkal diri, tetapi karena menemukan motivasi dan rangsangan yang dapat merealisasikan diri secukupnya melalui pesan dari gereja.
Terang dari Injil bersinar terang untuk melatar belakangi kegelapan dosa yang disingkapkan oleh hukum Taurat. Namun gereja modern tidak lagi memegang injil dengan cara demikian. Sebaliknya, bagi orang modern, injil menjadi injil karena di masa depan injil memberikan rangsangan dan menjadi penunjuk untuk membawa kebahagiaan dan kepuasan diri yang bersinar terang meskipun saat ini tidak dapat merealisasikan dirinya.
Oleh karena itu, orang modern mencari kebajikan iman dalam penerimaan yang murah hati kepada Allah yang menyayangkan untuk tidak menolong diri manusia dibandingkan dengan berseru kepada Allah “Terimalah orang berdosa melalui darah yang berharga” di dalam gereja. Khususnya bagi gereja Kristen ketika membuat orang yang berhasil dan telah merealisasikan diri menjadi teladan, bahaya di atas akan semakin meningkat. Hal ini nampak menjadi sesuatu yang sulit untuk diwujudkan tanpa mengabaikan esensi dari iman Kristen.
Terlebih lagi, ketika pelayan Tuhan tidak mengalami kuasa injil dan sukacita spiritual dari konversi roh yang sejati menganggap pertumbuhan gereja sebagai kehidupan religius, maka masalah itu akan menjadi lebih serius lagi. Nyatanya gereja modern banyak berkorban demi hal ini. Maka dengan mengatakan “Emas dan perak juga ada padaku” dibanding “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu”(Kis. 3:6) mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan orang modern ada di dalam iman Kekristenan. Orang modern perlu dipulihkan secara intrinsik dari masalah kehidupannya, namun yang dapat ditolong hanyalah realisasi diri mereka yang secukupnya. Jonathan Edwards di dalam bukunya ‘The Nature of True Virtue’ mengatakan dengan tegas bahwa sekalipun kasih di dalam diri terus dikembangkan, namun jika kasih tersebut bukan kasih yang menghancurkan dosa di hadapan Allah dan Kristus, maka pada akhirnya itu semua hanya melawan Allah secara intrinsik.[4]
Di Korea Selatan, sejak tahun 1960-an sesuai dengan semangat developmentalisme negara yang bergejolak seperti kobaran api, pertumbuhan gereja juga masih berlanjut. Bahkan sejak tahun 1980-an, karena jumlah jemaat gereja menurun, maka segala upaya demi pertumbuhan gereja semakin diakselerasi dan dilanjutkan dengan duplikasi dari gereja Amerika Serikat yang sukses serta dijadikan sebagai model. Manusia yang berhasrat untuk merealisasikan diri dikontrol oleh psikologi dibandingkan oleh firman Allah, dan tanpa kesakitan dan simpati yang sejati terhadap jiwa, teori marketing dijalankan di gereja untuk mengumpulkan jemaat. Oleh sebab itu, di dalam pikiran banyak orang, metode yang paling efektif dan baik merupakan apa yang paling hebat, dan gereja menjadi semakin besar tetapi dalam waktu yang bersamaan konversi Kekristenan menjadi semakin rendah. Di dalam situasi ini, kekuatan raksasa yang memberontak terhadap doktrin injil dari iman Reformed yang sejati mulai terbentuk, dan mereka mengedapankan sekularisasi gereja dengan kekuatan tersebut. Jika demikian, layakkah pemikiran Reformed? Penulis berpikir demikian: Walaupun pemikiran Reformed layak, akan tetapi gereja Reformed yang harus menyelamatkan dan membimbing orang modern dengan pemikiran tersebutlah yang tidak layak dalam situasi saat ini.
Tren Kekristenan yang berpusat pada manusia ini mengikuti psikologisme publik. Pemimpin gereja lebih mendengarkan kemauan publik dibandingkan dengan keinginan Kristus, kepala gereja. Dan situasi seperti ini membuat gereja tidak lagi dapat meneruskan pengajaran dan mengkhotbahkan pemikiran Kristen dengan berwibawa. Gereja menilai diri sendiri bahwa hal-hal tersebut merupakan warisan dari generasi lama yang sudah ada di gereja dan juga tidak ada adaptabilitas pada zaman sekarang. Oleh karena itu, gereja mengajar dan berkhotbah dengan isi yang dapat diterima tanpa merangsang jiwa dan petentangan intelek oleh orang yang tidak percaya.
Apa perbedaan antara pesan yang tersiar dari program televisi seperti talk show Oprah Winfrey, AM Plaza (program tv Korea – pen.) dengan khotbah? Apa yang penting bagi orang modern bukanlah anugerah Allah dan resolusi untuk berbalik kepada kebenaran yang objektif, tetapi justru keharuan untuk dapat berkomitmen terhadap diri sendiri demi realisasi diri. Maka kebenaran objektif dihilangkan dari kehidupan iman, dan emosi yang baik serta perasaan religius menjadi nilai dan berada di posisi pusat. Meskipun demikian, sejumlah kecil gereja berusaha untuk mempertahankan pesan Kekristenan yang tradisional, tetapi tidak banyak yang berhasil. Seperti tren yang tidak dapat ditentang, orang Kristen telah ditaklukkan oleh modernitas di dalam gereja. Walaupun ada gereja yang terus berkhotbah dengan doktrin injil, masih ada banyak kesulitan dalam menaklukkan hal-hal modernitas.
Apakah gereja di dalam konteks ini? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan akurat, dibutuhkan pertanyaan yang lebih fundamental. Pertanyaan tentang apa tujuan yang ultimat untuk eksistensi manusia dan dunia seperti apa yang ingin gereja ubahkan dengan mengorbankan diri.
Soal pertama di Katekismus Kecil Westminster mengandung tanya-jawab seperti ini: “Apa tujuan umat manusia? Tujuan utama manusia ialah memuliakan Allah, dan bersukacita di dalam Dia untuk selama-lamanya.”[5] Di tengah konteks modern, yaitu Postmodernisme yang hidup di dalam egosentrisitas dengan tidak percaya kepada Allah dan menolak akal budi, visi yang harus ditempuh oleh gereja secara pasti, bukanlah penyembuhan dalam konteks yang sementara.
Perhatikan solusi-solusi gereja terhadap sikap pluralistik orang modern yang hidup dan berpikir bahwa dirinya merupakan pusat alam semesta. Betapa sulitnya melihat pelayanan injil yang berusaha dan menantikan perubahan rohani yang sejati agar manusia berbalik kepada tujuan eksistensi yang sejati dengan menghancurkan penyembahan berhala, yaitu egosentrisitas. Bukankan lebih baik berusaha untuk mengajar apa yang dicari orang modern ketika berada di gereja ketimbang pekerjaan kelahiran baru yang melahirkan kembali jiwa dan yang menyadari dosa?
Gereja ingin bercampur dengan modernitas hingga mengabaikan esensi injil dengan mengatas namakan toleransi dan kasih, bukan karena gereja dipenuhi dengan kasih, tetapi karena tidak adanya pengalaman saat ini terhadap injil dan juga hilangnya kepercayaan diri gereja atas nilai ultimat, yaitu perwujudan tujuan penciptaan.
[1] Louis B. Weeks, “Reformed Tradition,” The Encyclopedia of Christianity, vol. 4, eds. By Erwin Fahlbusch (Grand Rapids: William Eerdmans Publishing Company, 2005), p. 541.
[2] John Leith, An Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta, John Knox Press, 1981 edisi revisi), pp. 70-88.
[3] Philip C. Holtrop, “Reforming a Reformed Theology – Toward a Global Vision for the Twenty-first Century,” (Grand Rapids: Calvin College, 2006), p. 38.
[4] “... apa yang lebih dekat dengan relasi dan lebih tegas dengan koneksi, jauh lebih besar dan lebih menjijikkan adalah kecacatan yang terdiri dari ketidaksesuaian.” Jonathan Edwards, The Nature of True Virtue in The Works of Jonathan Edwards, vol. 8, ed. by Paul Ramsey (New Haven: Yale University Press, 1987), p. 568.
[5] “What is the chief end of man? Man’s Chief end is to glorify God and to enjoy him forever.” G. I. Williamson, The Westminster Shorter Catechism (Phillipsburg: P&R Publishing, 1970 second edition), p. 1.